Powered By Blogger

Rabu, 02 Juni 2010

WAKTU YANG TERLARANG UNTUK SHALAT


  1. Setelah shalat fajar hingga ukuran matahari setinggi tombak.
  2. Setelah Shalat Ashar hingga matahari tenggelam.
    Tidak boleh dilaksanakannya shalat sunnah setelah 2 waktu tersebut berdasarkan hadits-hadits berikut:

    • Hadits Ibnu Abbas, ia berkata “Saya diajari oleh banyak orang yang kejujuran dan keagamaannya tidak diragukan lagi -termasuk didalamnya adalah Umar- Sesunguhnya Nabi melarang melaksanakan shalat setelah Subuh hingga terbit matahari dan setelah Shalat Ashar hingga matahari tenggelam“. (HR Bukhari 581 dan Muslim 826)
    • Hadits Abu Sa’id, ia berkata bahwa Rasulullah r bersabda: “Tidak ada pelaksanaan shalat setelah shalat subuh hngga matahari meninggi, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” (HR Bukhari 586 dan Muslim 727)
  3. Ketika tengah hari.
    Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, ia berkata: “Tiga waktu yang dilarang oleh RAsulullah untuk melaksanakan shalat atau mengubur mayit kami; Ketika matahari terbit dan bersinar terang hingga meninggi, ketika tengah hari hingga matahari tergelincir, ketika matahari condong kebarat hingga tengelam“. (HR Muslim 831)

Sebab Adanya Larangan

Nab r telah menjelaskan sebab pelarangan shlat dalam waktu-waktu tertentu kepada Amr bin Abasah, “Kerjakanlah shalat subuh, kemudian perpendeklah shalat hingga matahari terbit, sebab ia terbit diantara dua tanduk setan dan saat itu orang-orang kafir bersujud kepadanya. Kemudian kerjakanlah shalat -sunnah- sebab shalat saat itu dihadiri dan disaksikan (oleh para malaikat) hingga bayangan tegak lurus dengan anak panah, kemudian perpendeklah dari shalat, sebab saat itu neraka jahannam dikobarkan apinya, jika banyangan benda sama dengan aslinya maka shalatlah sebab melaksanakan shalat saat itu dihadiri dan disaksikan hingga kamu melakukan shalat Ashar, kemudian perpendeklah dari shalat hingga matahari tengelam sebab ia tenggelam, sebab ia tenggelam diantara dua tanduk setan dan saat itu orang-orang kafir bersujud kepadanya“. (HR Muslim 832)

Pengecualian Dalam Larangan

  1. Ketika akan dilaksanakan shlat Jum’at.
    saat itu disunnahkan untuk melaksanakan shalat sunnah, yaitu sebelum pelaksanaan shalat jum’at hinnga Imam naik ke atas mimbar, dalam hal ini Rasulullah r bersabda: “Tidaklah seseorang mandi dihari jum’at, kemudian membersihkandiri sebersih mungkin, memakai wewangian atau beraroma wewangian rumah, kemudian ia keluar dan tidak memisahkan diantara kedua orang, lalu -ketika sampai masjid- melaksanakan shalat yang dianjurkan, kemudian mendengarkan khatib sedang berkhutbah, maka ia akan diampuni dosanya diantara satu jum’at dengan jum’at yang lain.” (HR Bukhari 883)

    Asy-Syafi’i berpendapat: “Dengan hadits diatas dan dalil dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah rmelarang untuk melaksanakn shalat ditengah hari hingga matahari tergelincir, kecuali hari Jum’at.” (lihat Al-Umm 1/226 dan Al-Baihaqi 2/464) Namun hadits ini dha’if.

    Pendapat ulama terbagi menjadi dua pendapat:
    pertama diperbolehkan secara mutlak untuk melaksanakan shalat ditengah hari baik dihari jum’at atau selain hari jum’at. Ini adalah pendapat yang masyur dari imam Abu Hanifah dan Madzhab imam Ahmad.
    kedua secara mutlak dihukumi makruh melaksanakan shalat ditengah hari maupun selain jum’at.

    Dalam hal ini pendapat yang rajih adalah pendapat Asy-Syafi’i dan pendapat inilah yang diplih oleh Syaikhul Islam Ibnu taimiyyah. (Zad Al Ma’ad, Ibnul Qayim)

  2. Shalat dua raka’at thawaf di Baitullah Al-Haram.
    Hal ini berdasarkan pad:

    • Hadits Jabir bin Muth’am, bahwa Rasulullah r bersabda:
      Wahai Bani Abdul Manaf, janganlah kalian melarang orang yang akan thawaf dirumah ini dan melkasanakan shalat pada waktu kapanpun, baik siang atau malam hari” (HR At-Tirmidzi 869, An-Nasa’i 1/284, dan Ibnu Majah 1254)
    • Pada saat tersebut ibnu Abbas, Hasan dan Husain serta para ulama salaf melakukannya.
    • Sesungguhnya dua rakaat shalat saat thawaf adalah shalat yang berkaitan dengan thawaf, jika yang berkaitan boleh untuk dilakukan berarti yang terkaitpun boleh dilakukan.

      Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendpat itu diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Zubair, Atha’, Thawus dan Ibnu Tsur. (Al-Umm 1/150, al-Mughni 2/81, Al-Majmu 4/72)

  3. Menqadha Shalat yang tertinggal diwaktu yang terlarang.
    Ulama terbagi menjadi 2 pendapat:
    pertama tidak boleh meng-qadha pada waktu-waktu yang terlarang. Ini adalah Madzhab Abu Hanifah dan sahabat yang lainnya. (Al-Mabsuth 1/150)
    Adapun yang mendasari pendapat mereka adalah:

    • Sesungguhnya Nabi r ketika ketidurandan tidak melaksanakan shalat pada waktunya, beliau memilih untuk mengakhirkan shalat hingga matahari terlihat putih. (HR Bukhari dan Muslim dari Umran bin Husain)
    • Ia adalah shalat yang tidak boleh dilakukan kecuali pada waktu yang telah ditentukan, ia tidak seperti shalat sunnah.
    • Diriwayatkan dari Abu Bakrah, sesungguhnya ia pernah tertidur dalam daliyah (pekarangan yang disiram dengan air timba), ia terbangun dari tidur ketika matahari telah berada disebelah barat, kemudian ia menunggu hingga matahari terbenam, setelah itu ia melakukan shalat.
    • Diriwayatkan dari Ka’ab bin Ujrah, “Sesungguhnya putranya pernah tidur hingga timbul tanduk matahari, lalu ia dudukkan, dan ketika matahari meninggi ia berkata kepadanya, ‘kerjakanlah shalat sekarang’.” (Isnadnya Dha’if, HR Tirmidzi secara muallaq 1/158, dan Ibnu Syaibah me maushul-kannya 2/66)

    kedua boleh melaksanakan shalat qadha diwaktu yang terlarang dan waktu-waktu yang lainnya. Pendapat ini adalah inti dari pendapat Madzhab Maliki, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Jumhur Sahabat dan Tabi’in. (Al-Umm 1/148, Al-Mughni 2/80 dan Al-Ausath 2/411 dan Al Mudawwanah).

    Adapun dalil-dalil pendapat kedua adalah sebagai berikut:

    • Sabda Nabi r, “Barangsiapa yang tertidur atau lupa dari shalat, maka ia harus shalat ketika mengingatnya, dan tidak ada kafarat untuknya kecuali itu.
    • Hadits Qatadah yang diriwayatkan secara marfu’, “Sesungguhnya kecerobohan itu atas mereka yang tidak melaksanakan shalat hingga datang waktu shalat yang lainnya, siapa yang melakukan hal demikian, maka harus melaksanakan shalat ketika ia mengingatnya.” (HR Muslim 311)

      Dari dua hadits tersebut, jelas memerintahkan untuk melakukan shalat yang terlewatkan ketika mengingatnya atau ketika sadar, tanpa ada pengecualian waktu yang dilarang.

      Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: Dan pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang kedua. Adapun pengakhiran shalat yang dilakukan oleh Nabi r hingga matahari terlihat putih terang, karena tidak ada yang membangunkan dari tidur mereka kecuali panas cahaya matahari.

  4. Menqadha shalat Sunnah rawatib pada waktu-waktu yang tidak diperbolehkan.
    Dasar diperbolehkannya men-qadha shalat sunnah rawatib pada waktu-waktu yang terlarang adalah sebagai berikut:

    • Hadits Ummu Salamah, bahwa ia pernah melihat Nabi rmelakukan shalat dua rakaat setelah Ashar, maka sayapun bertanya kepada beliau tentang itu, kemudia beliau menjawab,
      Wahai binti Abu Umayyah, engkau bertanya tentang shalat dua rakaat setelah shalat Ashar. Sesungguhnya aku didatangi segolongan orang dari bani Abdul Qais, mereka menyibukkanku dari melaksanakan shalat sunnah dua rakaat setelah Dzuhur dan inilah dua rakaat itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
    • Diriwayatkan dari Qais bin Amr, ia berkata, Rasulullah pernah melihatku, saat itu aku sedang melaksanakan shalat dua rakaat fajar setelah terbitnya matahari, lalu beliau rbertanya kepadaku, “Shalat dua rakaat apa yang engkau lakukan itu wahai Qais?” Saya menjawab “Wahai Rasulullah, saya belum melaksanakan dua rakaat shalat fajar” lalu ia berkata “Kemudia beliau r diam“. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad Hasan)
      Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Kemudian beliau tidak mengingkari hal itu
    • Karena keumuman sabda Rasulullah r, “Siapa yang lupa mengerjakan shalat hendaknya ia melakukan shalat ketika mengingatnya….

      Ini adalah Madzhab Asy-Syafi’i dan Maliki

  5. Shalat Jenazah setelah Subuh dan Ashar.
    Para Ulama sepakat bahwa shalat jenazah setelah Subuh dan Ashar diperbolehkan, namun mereka berbeda pendapat dalam hal waktu pelaksanaannya, seperti yang terlihat pada hadits Uqbah bin Amir; ketika matahari terbit hingga tinggi, ketika tengah hari hingga matahari tergelincir dan ketika matahari mengarah kebarat hingga tenggelam. Ulama terbagi menjadi 2 pendapat:

    • Pertama Menurut Madzhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan kebanyakan ulama yang berpendapat, Tidak boleh melaksanakan shalat jenazah pada tiga waktu tersebut. Dasar mereka adalah hadits Uqbah bin Amir, ia berkata “Tiga waktu dimana Rasulullah melarang kita untuk shalat dan menguburkan mayit…” (HR Muslim) (lihat pada “Waktu yang terlarang untuk shalat Point ke-3)
    • Kedua Madzhab Asy-syafi’i dengan riwayat dari Ahmad berpendapat diperbolehkan melakukan shalat jenazah pada semua waktu yang terlarang (Al-Umm dan Al-Majmu). Dasarnya adalah bahwa shalat tersebut dilakukan dengan sebab, maka iapun harus dikecualikan dari pelarangan tersebut.
      Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan tiga hal tersebut karena nash menjelaskan demikian. Ketika larangan tersebut iut untuk shalat maka secara tidak langsung juga untuk penguburan, sebab sebelum dikuburkan pasti si mayit dishalatkan dahulu. Hal ini berarti tidak ada pengecualian dari pelarangan tersebut.
  6. Shalat yang mempunyai sebab.
    Seperti shalat tahiyat masjid, shalat sunnah wudhu, shalat gerhana dan lain sebagainya. Namun Ulama berbeda pendapat dalam hal ini:

    • Tidak boleh dilakukan dalam waktu terlarang. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan yang masyhur dari Ahmad.
    • Diperbolehkan, ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, adapun dalil yang dipergunakan adalah:
      • Diperbolehkannya melakukan dua raka’at untuk thawaf pada saat apapun.
      • Diperbolehkannya melakukan shalat setelah wudhu kapanpun waktunya, seperti yang ada pada hadits Bilal dan pertanyaan Nabi untuknya.
      • Shalat tahiyat masjid
      • Ketetapan Nabi yang telah melaksanakan shalat sunnah Dzuhur setelah shala Ashar karena sebab tertentu
      • Ijma Ulama yang memperbolehkan melaksanakan shalat Jenazah setelah Subuh dan Ashar.

      Dikatakan bahwa ini semua adalah pelaksanaan shalat dengan sebab, dan secara mutalk diperbolehkan untuk dikerjakan. Ataua dengan kata lain bahwa hal ini adalah pengecualian dari pelarangan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))